Akhir-akhir ini, berita di televisi atau surat kabar online (kalau surat kabar fisik sudah jarang yang beli sepertinya) senantiasa menayangkan update terakhir tentang terdamparnya Pengungsi Rohingya di dataran Aceh.
Info terakhir Pemerintah Indonesia sudah menerima para pengungsi. Permasalahan yang timbul yaitu mau ditampung dimana seluruh pengungsi ini? Mengingat jumlah pengungsi sudah mencapai sekitar 2000, dan diperkirakan masih ada ribuan lagi yang terkatung-katung di tengah laut.
Namun bukan hal itu yang mau saya highlight pada tulisan ini.
Dari hasil browsing-browsing, ternyata, dan baru saya tahu, Pemerintah Indonesia pernah mendirikan kamp khusus untuk manusia perahu dari Vietnam, yang beroperasi dari tahun 1978 sampai dengan 1996 dengan jumlah pengungsi mencapai 250ribu orang!
Dimana lokasinya? Kamp tersebut terletak di Pulau Galang, sebuah pulau yang berjarak 34 km dari Kota Batam (jaraknya lebih jauh dari jarak Batam ke Singapur memang, Batam-Singapur kurang lebih 20 km).
Foto dari sini
Kenapa disebut Manusia Perahu? Istilah tersebut adalah julukan yang melekat pada para pengungsi, berawal dari ditemukannya 75 orang pengungsi yang berdesak-desakkan dalam satu perahu di Kepulauan Anambas, sampai disusul oleh perahu-perahu lainnya, dengan tiap perahu berisi 100-400 orang, membawa ribuan pengungsi, umumnya dari Vietnam, ke seluruh Kepulauan Riau untuk mencari perlindungan di Indonesia.
Akhirnya untuk menampung ledakan pengungsi ini, Pemerintah Indonesia membangun kamp khusus untuk para pengungsi dengan menggandeng United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR). Saat itu kamp pertama dibangun di Anambas, sebelum pada akhirnya dibuat kesepakatan lagi pada 1979 untuk menempatkan mereka di Pulau Galang karena jumlah pengungsi yang semakin meluap, dengan semua biaya pembangunan pulau dibiayai oleh PBB.
Kamp pengungsi memiliki luas sebesar 16 km persegi atau 20% dari pulau (kira-kira Luas Pulau Galang sebesar 80 km persegi atau setengah Kota Tangerang), dan dilengkapi dengan kantor administrasi, Rumah Sakit, Sekolah, Gereja Katolik, Vihara, Pemakaman, Penjara, dan Youth Center (yang didirikan dan dijalankan oleh para pengungsi itu sendiri). Kamp ini menampung pengungsi dari Vietnam, Kamboja, dan Laos, dengan komposisi terbesar dari Vietnam, akibat berkecamuknya Perang Indochina II di negara tersebut pada saat itu.
Kamp Pulau Galang akhirnya ditutup pada tahun 1996, ketika Vietnam sudah kembali kondunsif. Dengan sebagian besar pengungsi dibantu dipulangkan ke tanah airnya lagi dan sebagian lagi dikirim keluar negeri (Eropa, Amerika, Australia, dkk) untuk bekerja setelah dibekali pendidikan bahasa Inggris dan Perancis.
Foto dari sini
Cukup takjub juga bahwa Indonesia ternyata pernah memberi concern yang besar pada para pengungsi. Mengingat saat itu, hanya Indonesia saja negara di Asia Tenggara yang bersedia memberikan tempat untuk tinggal sementara para manusia perahu asal Vietnam. Pada saat ini, total jumlah pengungsi di Indonesia kira-kira hanya mencapai 12.000 orang (berasal dari Afghanistan, Irak, Iran, dkk), sehingga tentu jumlahnya jauh lebih sedikit dibanding jumlah pengungsi Vietnam pada saat itu.
Anyway, jika saja saya tahu kalau ada pulau bersejarah seperti itu, mending saya pergi ke Pulau Galang daripada nyeberang ke Singapur ketika ke Kota Batam. So, lain kali kalau saya ke kota ini, wajib hukumnya pergi ke Pulau Galang.
Terus, bagaimana cara mencapainya? Hasil meramu dari berbagai web yang ada, ternyata pulau ini bisa diakses melalui Jembatan Barelang (Batam-Pulau Rempang-Pulau Galang), jadi tidak perlu menyeberang pakai perahu atau kapal (mungkin dulu harus pakai transportasi melalui laut).
Jembatan Barelang, Foto dari sini
Sesaimpainya disana, maka dapat dilihat bangunan-bangunan kamp pengungsian, yang sebagian besar tidak terawat lagi, namun cukup menggambarkan kira-kira bagaimana kondisi kamp tersebut ketika masih beroperasi.
Back to permasalahan tempat tinggal Rohingya, seorang Pakar Hukum Internasional berpendapat bahwa kamp di Pulau Galang ini dapat dipakai untuk menampung Pengungsi Rohingya. Entah bagaimana sikap pemerintah saat ini, yang pasti sikap Indonesia di masa lalu tersebut cukup menjadi kebanggaan sendiri dan semoga tetap terbawa sampai ke pemerintahan sekarang.